Arsip Blog

Senin, 23 Juli 2018

Pengajian Sunnah


Tulisan ini cukup panjang, merupakan keresahan saya pribadi sebagai muslim melihat penomena dakwah di medsos, terutama ketika menimpa kasus ustadz Hanan Attaki, biasakan membaca sampai tuntas.

Saya bisa memahami mengapa kawan-kawan Nahdiyin begitu reaktif terhadap kelompok yg sering membidahkan tradisi mereka, apalagi menganggap mereka sesat, tidak menjalankan tradisi sunnah dan beberapa cap yang bikin kuping mereka panas.

Saya yang terlahir dari tradisi NU, sering juga dibikin sewot dengan cara mereka dalam menjalankan dakwahnya : kaku, merasa paling benar sendiri dan gampang sekali melontarkan kata-kata sesat.

Di era medsos teramat mudah kita melihat tulisan dan video ujaran mereka, seakan ajaran mereka selalu paling benar dan merasa paling sunnah sementara tradisi Nahdiyin itu sesat

Bersyukurnya saya suka membaca dan bergaul dengan banyak kalangan, terutama kalangan Islam yang berbeda, saya cukup intensif gaul dengan teman-temen kalangan modernis seperti Muhammadiyah, persis, juga NU

Dulu dalam sejarahnya NU-Muhammadiyah juga ada gesekan, semakin tumbuh kembang dan dewasa usia kedua organisasi ini, kini diantara mereka tidak lagi saling menyalahkan, sudah harmoni, kalaupun ada perbedaan tidak sampai merusak ukhuwah, masing-masing bisa menahan diri untuk tidak sampai konflik terbuka.

Muhammadiyah sekarang fokus pada pendidikan dan kesehatan ribuan sekolah, perguruan tinggi, rumah sakit di bangun, terutama diwilayah perkotaan, sementara Nahdiyin tetap tegar mengawal di desa-desa dengan ribuan madrasah dan pesantren.

Ketika masih remaja saya bagian dari aktifis PII, kelebihan PII memberi ruang lebih bagi kader-kadernya banyak diskusi dan membaca buku, dokrin PII itu adalah PII satu mata rantai perjuangan ummat dari sekian banyak wadah perjuangan islam, tidak ada dokrinasi menyatakan PII itu paling benar.

penjelajahan intelektual mempertemukan saya dengan pemikiran para ulama dan intelektual muslim, mulai dari Maududi, Ali Syariati, Hasan Al Bana dan para punggawa intelektual muslim indonesia Amien Rais, Endang Syaifudin Ansori, Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, Jalaludin Rahmat, dan yg tidak kalah Nyentrik Gus Dur.

Penjelajah intelektual dan pergaulan, mengakibatkan terciptanya pemahaman bahwa Islam itu satu, tapi banyak ragam pemikiran, menyatukan Islam dalam satu pemikiran sama dan seragam itu sesuatu yang mustahil.

Itu sama saja saya memaksakan semua orang wajib menyukai kegemaran saya misalkan hoby makan pisang ambon padahal jenis pisang itu banyak ada pisang barangan, pisang lampung, pisang kepok, Islam berbeda pemahaman itu realita sosial yg harus kita terima sebagai bagian rahmat dari Allah SWT.

Banyak istilah baru yang muncul saat ini ketika gesekan antara Nahdiyin dan kelompok non Nahdiyin, salah satunya istilah yang ngetren adalah Pengajian Sunnah, entah sejak kapan istilah itu muncul

Pengajian itu kan suatu kata dari Khazanah Islam, maknanya mengkaji Islam atau mengaji ajaran Islam, pastinya tidak ada pengajian Injil, pengajian Weda, nah pengajian pastinya mengkaji kitab dari ajaran Islam Quran, Hadist, atau kitab-kitab Islam karya ulama-ulama Islam, lah Pengajian Sunnah itu apa?

Kalau ada pengajian sunnah, pastinya ada pengajian bukan sunnah, berarti ada pengajian bidah? Ketika saya pertanyakan itu pada pencinta pengajian sunnah mereka menjawab seperti ini :

"Kalau kita mau tidak menutup mata, tidak sedikit di kalangan umat yg mengaku muslim, mengadakan pengajian2 yg membolehkan meminta2 ke kubur (org dianggap suci), mengkafir2kan sahabat nabi, dll yg tidak pernah menjadi ajarannya Rasulullah sholallahu alaihi wassalam. Apakah praktik2 pengajian seperti ini masih bisa dibilang sunnah?"

Nah inikan menembak Nahdiyin, salah satu tradisi mereka adalah ziarah kubur ke makam para orang tua, kyai dan wali, mendoakan mereka di kuburan itu memang sering dilakukan, Saya tidak yakin ulama NU sebodoh dibayangkan banyak orang membolehkan ummat ziarah kubur tanpa ada dalil dari Quran dan Sunnah, pastinya mereka punya argumen.

Bahwa mereka datang ke kubur lalu meminta-minta di kubur seperti pesugihan, minta kaya, minta pangkat atau jabatan minta selamat dunia akherat, enggaklah, kaum Nahdiyin tidak sebodoh itu, lah wong kaum Nahdiyin sudah ada yg jadi Presiden bahkan menteri ristek dan perguruan tinggi sekarang dari Nahdiyin, ilok mereka minta2 dari kuburan tanpa kerja keras, mikir dong.

Soal mengkafirkan sahabat Nabi itu tradisi Syiah, Tradisi Nahdiyin justru sangat menghormati kanjeng Nabi - pastinya juga dengan sahabat-sahabat Nabi- perayaan maulid contohnya, tengoklah saat mereka mereka khusu membacakan Syirah Nabi dengan kitab maulid barjanzi lalu di lanjutkan dengan membaca shalawat Nabi dan tausiah dari Kyai dan Ustadz, betapa kaum Nahdiyin meresapi dan menghidupkan tradisi cinta Nabi, nah oleh para "ahlu sunnah " itu kegiatan maulid pun dianggap bidah, lah susah kan?

Jadi solusinya bagaimana? Kepada kaum kafir saja ada ayat lakum dinukum walyadin, bagimu agamamu, bagiku agamaku, ya kepada sesama muslim biarkan tumbuh pemahaman-pemahaman islam yg mungkin berbeda dengan cara berpikir kita. Jangan merasa paling sunnah, apalagi menganggap golongannya saja yang mengamalkan sunnah.

Saya punya mertua Muhammadiyah tulen, apa kata PP Muhamadiyah manut, namun beliau paham dengan realita sosial tidak mau memaksakan pemahamannya kepada pihak lain dan juga tidak secara vulgar menunjukan ketidak setujuan prakrek2 beragama yg tidak sesuai dengan dokrinasi muhammadiyah.

Ketika sholat di musolla sekitar rumahnya tidak sesuai keyakinannya, solusinya pindah ke musolla lain, meskipun agak jauh, namun dia tetep supel bergaul dengan tetangga yg pemahamannya berbeda dan menghormati paham mereka.

Orang tua saya itu pernah menjadi pengurus Nahdatul Ulama pada posisi elite di Bekasi, seumur-umur tidak pernah menjiarahi kuburan orang tuanya, untuk berdoa disana, ketika saya tanya, beliau menjawab berdoa tidak mesti di kuburan, dari rumah juga sampai.

Ketika tiap Ramadhan kumpul anak dan cucu melaksanakan sholat tarawih berjamaah biasanya bapak saya kompromi, cucu maunya 11 rakaat, orang tua ya biasanya 23 rakaat, kakek-neneknya ngalah ikut 11 rakaat.

Anak saya belajar Sekolah Dasar Muhammadiyah, SMP di sebuah pesantren yang dikelolan aktivis PKS, SMA nya di pesantren Modern yang dikelolah alumni Gontor, sedangkan yang kecil SD di sekolah SDIT dengan tradisi NU namun pengelolanya simpatisan PKS, SMP dan SMA di pesantren modern, dalam bacaan sholat doa iftitah mereka beda yang satu terpengaruh Muhammadiyah satunya Nahdiyin, tapi soal sholat tarawih, mereka kompak satu suara 11 rakaat hehehe.

Kalau begitu boleh kan kami juga menyatakan pemahaman berbeda dengan Nahdiyin, sangat boleh, tapi di era medsos sekarang ini lakukan denga cara cool dan arif dalam "meluruskan" yang menurut antum bengkok dan tidak sunnah itu, dakwah sekarang berbeda dengan sebelum era medsos.

Dulu seorang pendakwah bisa menyuarakan keyakinan kepada para jamaah, tanpa takut di dengar pihak lain karena lingkup dakwah terbatas, di era medsos seorang pendakwah bisa bermasalah dengan pihak lain manakala dakwahnya di rekam atau di tulis - entah disengaja direkam sendiri atau direkam pihak lain yg sangat semangat menyebarkan sunnah - terus di sebar di medsos, kalau sampai kalimat yg diucapkan vulgar, membuat tersinggung dan menyakitkan pihak lain bisa menjadi masalah hukum.

Lah menyuarakan kebenaran apapun harus dihadapi itu jihad !! ya monggo kalau punya keyakinan begitu, hukum alam mengatakan setiap ada aksi pasti ada reaksi, ketika anda menyebarkan sebuah keyakinan berbeda dengan keyakinan yang sudah ada pastilah ada reaksi

Saya kira berbagai tindakan nahdiyin sampai melarang tokoh atau ustadz tertentu berdakwah di daerahnya itu adalah sebuah reaksi, saya tegas menolak cara ini, sebagaimana saya juga tidak respek dengan kelompok menggaungkan sunnah terus merasa diri paling sunnah

Kedepannya saya yakin ada titik temu pemahaman antara "pendukung pengajian sunnah" dengan Nahdiyin, sebagaimana NU dan Muhammadiyah bisa bergandeng tangan, yang penting ukhuwah tetap di jaga bahwa kita bersaudara dalam iman, perbedaan pendapat adalah rahmat. Harus di ingat yang paham sunnah itu bukan hanya penggemar pengajian sunnah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar