Arsip Blog

Jumat, 14 September 2018

Saatnya Hijrah (Dilema Penduduk Lokal)


Stigma penduduk pribumi (saya lebih suka nyebutnya penduduk lokal) dimata perusahaan atau majikan di lingkungan kerja non formal buruk: cap pemalas, tidak punya etos kerja, banyak tuntutan, tidak punya tanggung jawab dll mengemuka.

Mengapa penduduk lokal punya stigma buruk? mari kita coba telaah secara sosiologis, mereka tuan rumah, dari sisi kebutuhan hidup tercukupi karena masih ditanggung orang tua, etos kerja memang berbeda dengan perantau yang jauh dari keluarga.

Penduduk lokal tidak kerja masih bisa makan, punya tempat berteduh, buat jajan minta uang sama orang tua, kebutuhan tercukupi, sedangkan penduduk rantau tidak kerja mereka sengsara, siapa yang membayari makan, ngontrak, apalagi jajan ?

Minta sama ortu di kampung? mungkin malu, mungkin juga ekonomi ortu juga susah, penyebab orang rantau merantau salah satunya kemiskinan dan tidak ada lapangan kerja dikampung.

Jadilah orang rantau mau kerja apa saja dan mau dibayar murah agar mereka bisa bertahan hidup di tanah rantau, semangat kerja mereka tinggi, etos kerja, lebih disiplin karena kalau kinerja jelek mereka juga bisa dipecat.

Maka terjadilah resistensi antara penduduk lokal yang di stigma negatif sebagai pemalas dengan penduduk rantau yang juga di stigma negatif oleh masyarakat lokal sebagai perebut lahan pekerja penduduk lokal.

Stigma tentang penduduk lokal dan kecemburuan sosial tidak hanya terjadi di Bekasi, diseluruh Indonesia itu menjadi masalah yang cukup pelik.

Pada skala nasional, isu etnis Cina yang menguasai ekonomi indonesia juga kerap terjadi, banyak masyarakat cemburu dengan kemajuan etnis China, maka setiap isu etnis cina menjadi menarik dan viral.

Sesungguhnya para perantau tidak akan maju dan berkembang kalau mereka mendekam di kampung halaman, hijrah mereka lah yang membuat mereka terbuka pikiran, mempunyai etos kerja tinggi dan semangat bekerja.

Penduduk lokal pun kalau merantau pasti akan terbuka wawasan dan pemikirannya, kalau cuma mendekam di kampung dewek yah tetep aja kuper.

Nabi mencontohkan bagaimana cara lepas dari kebuntuan dakwah, setelah hampir 13 tahun dakwah di kampung dewek di Mekkah tidak mencapai kemajuan, Allah perintahkan ummat Islam pindah (hijrah) ke Madinah, dengan penuh keimanan umat Islam berbondong-bondong ikut hijrah

hanya dalam waktu 10 tahun Islam bisa berkembang pesat di Madinah, menjangkau seluruh Jazirah Arab, Mekkah akhirnya bisa ditaklukan umat muslim.

Itulah sebabnya Sayidina Umar menetapkan kalender Islam dimulai saat Nabi Hijrah, karena berkat hijrah perkembangan Islam sangat pesat bisa menjangkau seluruh penjuru dunia sampai saat ini.

Jadi kalau kita penduduk lokal ingin berkembang contohlah Nabi, Hijrah fisik seperti Nabi, keluar dari kampung cari penghidupan dikampung orang.

Bisa juga hijrah mental, tetep tinggal dikampung, perbanyak baca, pergaulan dan wawasan, ciptakan peluang, kreatif dan inovatif.

Susah cari kerja? cobalah berwirausaha bukan ngandelin ngelamar kerja, dengan menciptakan usaha berarti kita lebih mandiri tidak bergantung pada orang lain, tidak lagi ngured-ngured nyari kerja susah, terus nyalahin orang lain.


Jadi mari di awal tahun baru hijriyah, kita bangun budaya baru, hijrah fisik dan mental, jadilah pemuda yang punya jiwa wirausaha.