Arsip Blog

Jumat, 28 Desember 2018

Catatan 2019


Menulis itu adalah sarana menuangkan ide, gagasan, pemikiran, solusi sampai alternatif sebuah persoalan. Menjadi penulis itu mudah bagi mereka yang hoby membaca, mempunyai wawasan luas, terbuka dan tentunya mempunyai kemampuan mengolah kata.

Dulu untuk menjadi penulis agar dikenal lumayan rumit, seorang penulis jika karyanya ingin di kenal, mengirim tulisan di media, oleh media tulisan tersebut di sortir redaktur layak atau tidak untuk di muat di medianya, jika layak tulisan terpampang di media, jika tidak masuk keranjang sampah.

Revolusi media melalui media sosial memungkinkan kita, bisa menulis apa saja yang menjadi pemikaran dan kegalauan pribadi, tanpa sensor redaksi. Namun harus dicatat walaupun kita bisa menulis tentang apa saja, tetap saja pembaca bisa menilai kwalitas penulis melalui coment dan like bahkan bisa menjadi viral.

Saya suka menulis, apapun yang menarik perhatian saya, sering saya tulis melalui status di FB dari persoalan agama, sosial, politik sampai bisnis. Kemampuan mengolah kata dalam mensikapi beragam persoalan adalah buah pengalaman hidup saya yang pernah aktiv di dunia politik, sosial, pendidikan sampai bisnis.

Pernah beberapa kali tulisan saya di muat di media massa nasional, dunia medsos memungkinkan saya untuk bisa mengeluarkan pemikiran secara bebas tanpa sensor redaksi, berbagai tulisan saya buat di dinding FB menanggapi persoalan secara aktual.

Kurang lebih ada 110 tulisan saya buat di FB selama kurun waktu tiga tahun, teramat sayang jika tulisan itu berserakan tanpa dihimpun dalam satu kesatuan utuh sehingga bisa dibaca secara runtut, mudah diakses dan tentunya bisa dinikmati secara mudah.

Bertemulah saya dengan blog, tulisan berserakan itu saya jadikan sebuah blog dengan nama Catatan Babeh Afif. Banyak tulisan saya yang di comnet dari yang pro dan kontra, di like bahkan ada yang viral dibagikan puluhan ribu kali.

Pernah juga Redaktur Harian Radar Bekasi menelpon saya meminta ijin tulisan di FB saya dimuat secara utuh di Kolom Radar, karena isinya menarik dan layak untuk konsumsi pembaca radar alhamdulillah.

Akhirnya tadi malam saya bisa menuntaskan kumpulan tulisan berserakan itu menjadi satuk kesatuan di blog saya, jika teman-teman berkenan silahkan mengunjungi , membuka dan membaca tulisan saya di blog Catatan Babe

Kamis, 27 Desember 2018

Mayat Hidup Zombie Partai


Waktu saya aktif di PAN ada istilah Mayat hidup, istilah itu ditunjukan untuk oknum pengurus partai yang secara formal tercantum di SK kepengurusan tapi tidak pernah aktif sama sekali di kegiatan partai.

Mereka akan muncul saat ada perhelatan besar partai seperti kongres/muswil/musda, biasanya mereka dibangkitkan oleh kandidat tertentu atau kepentingan tertentu untuk memenangkan sebuah pertarungan politik di internal atau external partai seperti ingin menjadi ketua partai, pilpres, pilkada baik di tingkat lokal maupun nasional.

Dengan sistem satu pengurus satu vote, maka suara mayat hidup ini lumayan signifikan, karena biasanya di partai yang aktif ngurusin partai itu jumlahnya tidak lebih dari 30 persen, seseorang yang bisa membangkitkan mayat hidup di event terbesar partai bisa memenangkan pertarungan.

Maka tidak heran waktu itu, saat saya aktiv di PAN tingkat lokal, ajang tertinggi perwusyawarat partai yaitu Musyawarah Daerah (Musda), tetiba wajah asing nongol, wajah-wajah pengurus yang lama tenggelam hadir lagi, itulah mayat hidup alias zombie partai, mereka tanpa malu hadir karena merasa punya hak suara guna mendukung kandidatnya.

Struktur PAN tidak mengenal istilah pendiri, yang ada adalah pengurus partai, keputusan organisasi biasanya diputuskan oleh rapat pengurus, kecuali keputusan besar partai seperti Rakernas atau kongres, dilakukan melibatkan stuktur pengurus partai lebih besar dibawahnya bisa pengurus setingkat propinsi atau kabupaten/kota.

Makanya ketika membaca berita lima orang yang mengaku pendiri PAN membuat surat terbuka meminta Amien Rais mundur dari PAN saya ngakak. Lah sejak kapan di kepengurusan PAN ada istilah pendiri?

Setahu saya pendiri PAN ada 50 Orang Lebih, ketika mereka selesai mendirikan tugas kepartaian dilakukan oleh pengurus, saat kepengurusan baru terbentuk, para pendiri ada yang jadi pengurus aktiv dan pengurus pasif, ada yang kecewa ninggalin PAN pindah partai, ada yang habis mendirikan PAN lalu tidur pulas.

Lima orang yang berkirim surat itu selama saya aktif nyaris tidak pernah muncul di kegiatan PAN, kecuali Abdillah Toha yang pernah jadi ketua DPP sekarang sudah pensiun, lainnya seperti kentut tanpa suara, nyaris tak terdengar, mereka berkiprah sebentar lalu hilang tanpa kabar, namanya cuma terdokumemtasi sekedar sebagai pendiri tanpa peran berarti di PAN.

Tiada angin dan hujan tetiba mereka yang sudah lama mati suri itu berkirim surat mengatas namakan pendiri PAN, entah sejak kapan mereka merasa punya mandat membuat surat mengatas namakan pendiri, empat dari puluhan pendiri partai berkirim surat terbuka media heboh, langsung saya inget masa lalu, ini pasti mayat hidup nongol, zombie partai bersuara hahaha.

Bisa di tebak arahnya kemana, seperti kentut baunya bisa tercium wujudnya tidak terlihat, yah ujung-ujungnya pertarungan pilpres, karena diantara mereka sudah jelas mendukung kamar sebelah, tak usah jadi telmi membaca hal ini.

PAN Pecah? ah itu judul berita bombatis!! buat mereka yang pernah aktiv di PAN hal seperti itu sangat paham, yakin para kader PAN tidak peduli suara para pendiri itu, di PAN mereka tidak punya pengaruh apapun, sudah hilang dari peredaran, sudah purnawirawan tanpa jabatan, mereka cuma zombie tua yang pengen eksis.

https://news.detik.com/berita/4358811/pan-pecah-pendiri-pan-tulis-surat-terbuka-desak-amien-rais-mundur?fbclid=IwAR1-3hGrne3yEGPiihFTU5ttiQ0tFnCB1Fk7ilaezP5V_Fgn_7JDYZ7DNXc

Selasa, 11 Desember 2018

DPR Sariawan


Menurut UU fungsi DPR itu tiga, pertama Legislasi membuat undang-undang, semua undang-undang di negeri ini disahkan oleh DPR.

Dalam membuat UU DPR punya Hak inisiatif bisa juga pemerintah mengajukan, proses pembuatannya, DPR diskusi dengan pemerintah hingga ujungnya disetujui bersama lalu disahkan melalui Sidang Parpurna DPR, apa arti diskusi? ya ngomong saling adu argumentasi.

Tugas DPR yang kedua bugeting, mensahkan anggaran negara yang diajukan dan disusun oleh pemerintah, prosesnya melalui diskusi dan lobby, nah proses diskusi/lobby juga dengan ngomong.

Tugas DPR yang terakhir pengawasan, seorang anggota DPR berhak mengawasi seluruh kegiatan pemerintah mulai dari anggaran sampai pelaksanaan pembangunan, kalau ada penyimpangan DPR bersuara alias ngomong.

Jadi tugas Anggota DPR itu ngomong, mereka dipilih dan digaji untuk ngomong, mereka tidak punya kekuasaan eksekutif untuk mengeksekusi sebuah program.

Banyak yang tidak paham tugas DPR, ada yang mengritik DPR ngomong doang alias OMDO, nah orang model begini sesungguhya tidak paham tugas anggota legislatif.

Kalau ada anggota semacam Fadli Zon dan Fahri Hamzah banyak omong, ya memang dia sedang menjalankan fungsinya sebagai Wakil rakyat, kalau diam, manut, tidak pernah bersuara berarti itu anggota DPR sedang sakit Sariawan.

Udah di gaji mahal, tidak ada suara, membebek bae pada maunya pemerintah, coba deh yang suka bilang DPR ngomong dia, baca lirik lagi Iwan Fals berikut ini biar tambah pinter.


SURAT BUAT WAKIL RAKYAT

Untukmu yang duduk sambil diskusi
Untukmu yang biasa bersafari
Disana di gedung DPR

Wakil rakyat kumpulan orang hebat
Bukan kumpulan teman teman dekat
Apalagi sanak famili

Dihati dan lidahmu kami berharap
Suara kami tolong dengar lalu sampaikan
Jangan ragu jangan takut karang menghadang
Bicaralah yang lantang jangan hanya diam

Dikantong safarimu kami titipkan
Masa depan kami dan negeri ini
Dari Sabang sampai Merauke

Saudara dipilih bukan di lotere
Meski kami tak kenal siapa saudara
Kami tak sudi memilih para juara
Juara diam juara he eh juara hahaha

Untukmu yang duduk sambil diskusi
Untukmu yang biasa bersafari
Disana di gedung DPR

Dihati dan lidahmu kami berharap
Suara kami tolong dengar lalu sampaikan
Jangan ragu jangan takut karang menghadang
Bicaralah yang lantang jangan hanya diam

Wakil rakyat seharusnya merakyat
Jangan tidur waktu sidang soal rakyat

Wakil rakyat bukan paduan suara
Hanya tahu nyanyian lagu "setuju"

Wakil rakyat seharusnya merakyat
Jangan tidur waktu sidang soal rakyat

Minggu, 09 Desember 2018

Sorry Jangan GR Ya... Kamu Memang Sontoloyo!!


Orde Baru bisa menutup sebuah peristiwa cukup dengan menelepon Pemred, di jamin besoknya peristiwa yang menurut versi rezim Orba itu mengganggu "Ketertiban Umum" tidak muncul di media

Di era sosmed sebuah peristiwa tidak mungkin bisa ditutupi oleh media mainstreem, sosmed melahirkan jurnalisme warga yang siap melaporkan berita langsung dari pusat peristiwa, tanpa perlu sensor dari redaktur.

Jadi era redaktur menjadi sosok paling berkuasa di media itu sudah hilang, dulu jika tidak suka pada sebuah berita, bagi rakyat biasa ya berkirim surat, ada kolom surat pembaca, itu pun surat pembaca di sensor juga oleh redaktur.

Jadi upaya tidak memberitakan aksi 212 oleh media mainstreem dengan maksud mengkerdilkan tidaklah membuat peristiwa itu sepi dari jagad pemberitaan.

Mereka yang hadir dalam jumlah jutaan, menulis reportase sendiri lengkap dengan narasi, photo dan video, laporan mereka lebih natural tanpa embel-embel pesanan redaksi.

Mengapa ada yang kecewa tidak diberitakan peristiwa Reuni 212 oleh media mainstream? itu bukan bermaksud ingin ngetop apalagi ingin diliput, maaf ya tanpa diliput jurnalisme warga sudah melaporkan jauh lebih heboh ketimbang media mainstream.

Kita kecewa hanya soal pada ketidak adilan, sebelum Aksi Reuni 212 media mainstream sudah memberitakan akan adanya aksi tersebut di halaman utama.

Beritanya negativ thingking, dibangun opini akan rusuh, tidak bermanfaat, kegiatan intoleran, pemborosan dll. Tujuannya ya menggagalkan atau mendeggradasikan kegiatan tersebut.
Pas puncak acara, berlansung damai, sukses, tidak rusuh seperti yang mereka khwatirkan, eh sepi pemberitaan.

Pasca acara mulai diberitakan lagi, dibangunlah opini kembali mengkerdilan kegiatan itu, hal remeh temeh soal jumlah, sampai, politisasi agama, pelanggaran kampanye diwartakan.

Jadi yang digugat soal keadilan pemberitaan, bukan soal liputan, tanpa liputan mereka pun kegiatan 212 sukses, soal pemberitaan jurnalisme warga lebih asyik di baca ketimbang nonton metro tv, kompas tv dll.
Jadi jangan GR seolah kami butuh berita media mainstream sorry ya tanpa anda kami tahu kok info validnya.

Kamu Sonyoloyo.

Kamis, 06 Desember 2018

Karena Panggilan Iman


Kenapa ada orang rela menabung bertahun-tahun untuk menunaikan ibadah haji? lalu setelah ongkos naik haji terkumpul terus daftar, menunggu lagi hingga bertahun-tahun.

Jawabnya hanya satu Panggilan iman, keimanan lah yang mendorong mereka rela mengorbankan segalanya, untuk mengejar apa yang mereka tunaikan karena Allah SWT.

Gerangan apakah jutaan orang rela berbondong - bondong dengan modal sendiri, berdesak-desakan dan kepanasan ke Reuni 212? karena sebuah keyakinan atau keimanan.

Keyakinan terhadap agama sulit di ukur dengan logika atau materi, saya bertemu dengan seorang ibu mengajak anaknya untuk menyaksikan fenomena reuni 212, apa tidak takut kalau ada kejadian tidak terduga? saya memastikan keyakinan yang kuat lah yang mendorong ibu mengajak buah hatinya menyaksikan peristiwa maha dahsyat itu

Maka ketika peristiwa fenomenal itu terjadi, pihak sebelah tidak mampu mengadakan kegiatan seperti itu karena mereka tidak bisa menggerakan masa atas dasar keimanan, mekanisme pertahanan diri muncul untuk tetap merasa eksis dan hebat, caranya dengan mengecilkan peristiwa itu.

Mereka sibuk ngitung jumlah dengan berbagai rumus yang katanya ilmiah, mereka membuat stigma politisaai agama, kelompok radikal, intoleran, massa bayaran dll.

Kalau Sandiaga Uno yang sudah milenial terus meniru gaya milenial, Sandi kepasar cek harga tempe ikutan blusukan harga tempe, guyon dengan pete ikutan juga bergaya pete.

Maka untuk Aksi 212 dan Reuni 212 yang fenomenal itu mereka tidak bisa meniru, pernah mencoba meniru di 412, eh massanya cuma seuprit dan gagal.

Tontonlah video berikut ini, ada kegiatan pengumpulan dana di lokasi untuk menopang kegiatan Reuni 212, kalau massa bayaran, mana mungkin mereka rela menyumbangkan dana demikian besar? untuk menghitung sumbangan saja butuh puluhan relawan.

Beda kelas lah dengan rombongan sebelah, untuk dapat nasi bungkus saja berebut, bandar pasti mikir kalau jamaan bejibun, berapa M kudu nyiapin dana, lalu yang nyumbang mikir dapat apa kalau cuma modalin pasukan nasi bungkus?

Rabu, 05 Desember 2018

Tukan Tilep

Anda pernah jadi kordinator aksi atau Kordinator lapangan (Korlap) aksi? saya pernah, bahkan jabatan lebih tinggi lagi kordinator korlap, beberapa tahun lalu, saya menjadi tim pemenangan pemilu.

Nah sebagai ketua tim saya pengatur dan pengendali korlap untuk kampanye, juga pastinya pemegang kendali keuangan.

Tugas korlap itu salah satunya mobilisasi masa, mencari masa, mengatur masa sampai tujuan dan menyediakan logistik buat peserta aksi kampanye termasuk kasih uang transport.

Nah korlap inilah banyak yang bermain, di suruh cari masa seratus orang dikirim 50, uang transpots 100 ribu, dikasih ke peserta separuhnya, lumayan bisa nilep separuh. Dulu saya melihat itu nyata.

Bagaiman kordinator korlapnya? bisa nilep juga? ya pasti bisa lah bahkan bisa dapat bagian lebih gede.
Apakah saya waktu itu pernah nilep? hahaha amit-amit duit begituan di makan kagak berkah dah, gue pebisnis bukan tukang catut, makanya setelah masa bakti sebagai pengurus selesai langsung non aktif dan pensiun dipolitik, lebih enak cari duit dari jualan ikan.
Nah Deny Siregar hapal betul yang kayak gini, karena dia mungkin cari makan dari yang begini, diawal mungkin dia korlap, seiring kemampuan mencari massa atau membangun opini massa, jabatan naik makin tinggi, sehingga duit yang bisa di tilep makin banyak.

Dia mikir semua orang mirip dirinya, menganggap 212 dibayar, lah pesertanya membludak demikian banyak, mana ada bandar yang mau nanggung biaya segede itu, nyinyir silahkan waras tetap di jaga.

Senin, 03 Desember 2018

Kesadaran Kolektif


"Jangan buang sampah sembarangan ya, entar di shot Metro Tivu"

"Mas, Jangan injak rumput entar di photo sama wartawan Detik"

"Kami tidak butuh diliput Kompas TV, Tempo dan CNNTV" tulis sebuah poster yang dibawa peserta Aksi

Kenapa kok media tidak disukai peserta 212? layaknya sebuah aksi, seharusnya peserta seneng kegiatan diliput agar khalayak luas mengetahui adanya aksi besar, lah ini kok beda ya?

Semua gara-gara keberpihakan media pada penguasa, nyaris daya kritis media di era sekarang tumpul, wartawannya pemalas, redakturnya tunduk pada bos media yg menghamba pada kekuasan.

Framing yg dalam istilah kekinian disebut pemilintiran berita menjadi menu kalangan Islam dan oposisi setiap hari, mereka selalu mencari sisi buruk aksi 212 mulai dari sampah berserakan, taman dirusak hingga hal remeh temeh lainnya.

Sementara sebelum aksi, framing sudah di bentuk dengan kata-kata sangat jahat, membuat kerusuhan, bikin macet, politisasi agama, radikal, intoleran dll.

Padahal aksi kelompok sebelah terkadang brutal, kasar, kata-katanya memprovokasi, namun nyaris diabaikan sebagai bahan berita, selalu kelompok sebelah diberitakan sisi positif tujuan aksinya.

Muncul lah dikalangan aksi 212 untuk tidak mempercayai media, bagi mereka publikasi yang disampaikan media tidak lebih dari penggiringan opini sesat yang merugikan, ada ketidak adilan mencolok.

Kesadaran kolektif ini tumbuh dan melekat sehingga mereka paham betul siapa saja media tukang goreng itu dan peristiwa apa saja yang bakal digoreng.

Bagi dunia pers ini sebuah warning, media yang sering dilekatkan sebagai pilar ke empat demokrasi setelah eksekutif, legislatif dan yudikatif, kini menjadi macan ompong yang menghamba pada kekuasaan dan kelompoknya.

Pers yang kritis, bebas dan bertanggung jawab nyaris tidak ada lagi, mereka seperti di zaman Orba takluk pada kekuasaan, bedanya dulu dilakukan dengan keterpaksaan sekarang dengan kesadaran.

Bersyukurnya muncul kesadaran kolektif untuk juga mengritisi pers, bahwa pers tidak bebas nilai, pers juga harus di kontrol untuk tidak sembrono menulis berita.

Dan inilah wajah media kita, mengabaikan aksi 212, media luar banyak yang menjadikan sebagai headline, media sini mengabaikan.

Minggu, 02 Desember 2018

Massa Diam Itu Tetap Solid

Hari ini saya bernostalgia, dua tahun lalu saat menghadiri Aksi Bela Islam, saya membuat tulisan di FB judulnya Massa Diam, oleh Koran Radar Bekasi Tulisan itu dimuat sebagai artikel dengan Judul "Ahok Diadili Masa Diam Akan Diam". Tulisan itu bisa di baca ulang di blog pribadi saya

Waktu itu ummat marah saat Ahok menista Al Quran, Seorang Ahok awalnya dengan pongah enggan meminta maaf, dia merasa dirinya jaya, berkuasa, didukung pusat kekuasaan dan media, tidak mungkin tersentuh hukum.

Dua tahun lalu, berbagai kecurigaan, intimidasi, label disematkan kepada peserta 212 yang menuntut Ahok diadili, mulai dari : intoleran, anti Pancasila, anti NKRI, ingin mendirikan khilafah, mau menjadikan Indonesia seperti Suriah, ISIS sampai Teroris

Pada akhirnya Berjuta orang dengan berbagai mode tranpotasi, mobil, motor, kereta, pesawat, sampai ada yang berjalan kaki, tumpah ruah menuju monas menuntut penista Quran dihukum, dunia terkejut, aparat kaget, para pembencir terperangah, kok bisa massa jutaan orang bisa berkumpul dengan tertib, aman, nyaman, hingga satu rumput pun tidak ada yang terinjak.

Pada akhirnnya Ahok tumbang, terhina dan terpenjara, pilkada KO, masa tanpa senjata yang diremehkan itu bisa menumbangkan kekuasaan yg didukung penuh rezim berkuasa, media dan dana tanpa batas.

Hari ini sama dengan dua tahun yang lalu, pembenci masih sama, tuduhan tetap sama dan rezim yang berkuasa juga sama, Reuni 212 kedua, lagi-lagi bikin heboh dan pusing para pembenci, mereka mencoba menghadang dengan berbagai cara dan ancaman, tetapi tidak mampu membendung arus massa laksana air bah mengalir tanpa henti.

Justru saya melihat alumni 212 semakin solid, jumlah peserta semakin bertambah, kekalahan si penista dan perilaku para pembenci yang saking bencinya berani membakar bendera tauhid membuat militansi mereka semakin tinggi dan terjaga selama dua tahun.

Jam 04.30 saya berangkat, stasiun Bekasi sudah penuh, kereta sesak, berdiri pun susah, ketika sampai stasiun Manggarai kereta dari bogor pun penuh, kawan saya mau berangkat sampai stasiun Bekasi pukul 05.30 nyaris tidak kebagian kereta.

Ketika sampai stasiun Gondangdia, harus antri setengah jam untuk keluar pintu masuk, saat menyusuri jalan ke monas, tetap saja ribuan orang tumpah ruah memenuhi jalan, memasuki monas pukul 07 pagi jutaan orang sudah duduk khusu mengelilingi monas dan kawasan sekitarnya.

Saya tidak bisa mendekati panggung utama, saking padatnya massa, yang bikin haru dan hampir air mata ini menetes, bendera Tauhid yang pernah di bakar dan dihinakan berkibar tinggi dengan gagah melalui tangan-tangan mereka yang cinta setulus hati atas kalimat ikrar itu.

Topi, sal, antribut Tauhid dikenakan semua peserta, memakai baju seragam nyaris sama berwarna putih, Monas pun sangat eksotis memutih, ada rasa haru menyaksikan suasana ini, jika anda hadir disini tiada biasa berkata selain berkata subhanallah Allah Hu Akbar.

Mereka dibayar? ah kamu teramat bodoh, bandar mana yang mampu membayar jutaan orang untuk menghadiri kegiatan yang tidak menghasilkan materi dan uangnya kembali?

Ternyata massa diam itu tetap solid, tetap bisa bergerak sendiri dengan komando jamaah-jamaah kecil, dengan iman di dada menyakini kalimat Tauhid di negeri ini masih bisa ditegakan.

ketika kamu masih berkeras kepala meremehkan massa ini seperti Ahok, lalu kamu terus menerus menghinakan kami, keyakinan kami, kecintaan kami, maka tunggu lah kau bernasib seperti Ahok tumbang dengan tragis.

Loh kok Reuni 212 jadi kegiatan politik? kami datang reuni mengenang perilaku seorang pemimpin yang dengan pongah berani menista Quran kita suci kami, agar dikemudian hari orang seperti itu tidak muncul lagi di bumi nusantara.

Kami bersilaturahmi, berukhuwah, berdoa, agar negeri kami di pimpin oleh orang soleh yang peduli pada agama, bukan pemimpin yang menzalimi ulama-ulama kami.

Bahwa pada ujungnya anda menilai itu politik, yah silahkan hak kamu menilainya, 2019 nanti, kami tahu siapa yang kami pilih, para Alumni 212 juga cerdas siapa yang bakal mereka pilih.