Arsip Blog

Senin, 03 Desember 2018

Kesadaran Kolektif


"Jangan buang sampah sembarangan ya, entar di shot Metro Tivu"

"Mas, Jangan injak rumput entar di photo sama wartawan Detik"

"Kami tidak butuh diliput Kompas TV, Tempo dan CNNTV" tulis sebuah poster yang dibawa peserta Aksi

Kenapa kok media tidak disukai peserta 212? layaknya sebuah aksi, seharusnya peserta seneng kegiatan diliput agar khalayak luas mengetahui adanya aksi besar, lah ini kok beda ya?

Semua gara-gara keberpihakan media pada penguasa, nyaris daya kritis media di era sekarang tumpul, wartawannya pemalas, redakturnya tunduk pada bos media yg menghamba pada kekuasan.

Framing yg dalam istilah kekinian disebut pemilintiran berita menjadi menu kalangan Islam dan oposisi setiap hari, mereka selalu mencari sisi buruk aksi 212 mulai dari sampah berserakan, taman dirusak hingga hal remeh temeh lainnya.

Sementara sebelum aksi, framing sudah di bentuk dengan kata-kata sangat jahat, membuat kerusuhan, bikin macet, politisasi agama, radikal, intoleran dll.

Padahal aksi kelompok sebelah terkadang brutal, kasar, kata-katanya memprovokasi, namun nyaris diabaikan sebagai bahan berita, selalu kelompok sebelah diberitakan sisi positif tujuan aksinya.

Muncul lah dikalangan aksi 212 untuk tidak mempercayai media, bagi mereka publikasi yang disampaikan media tidak lebih dari penggiringan opini sesat yang merugikan, ada ketidak adilan mencolok.

Kesadaran kolektif ini tumbuh dan melekat sehingga mereka paham betul siapa saja media tukang goreng itu dan peristiwa apa saja yang bakal digoreng.

Bagi dunia pers ini sebuah warning, media yang sering dilekatkan sebagai pilar ke empat demokrasi setelah eksekutif, legislatif dan yudikatif, kini menjadi macan ompong yang menghamba pada kekuasaan dan kelompoknya.

Pers yang kritis, bebas dan bertanggung jawab nyaris tidak ada lagi, mereka seperti di zaman Orba takluk pada kekuasaan, bedanya dulu dilakukan dengan keterpaksaan sekarang dengan kesadaran.

Bersyukurnya muncul kesadaran kolektif untuk juga mengritisi pers, bahwa pers tidak bebas nilai, pers juga harus di kontrol untuk tidak sembrono menulis berita.

Dan inilah wajah media kita, mengabaikan aksi 212, media luar banyak yang menjadikan sebagai headline, media sini mengabaikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar