Arsip Blog

Kamis, 15 Desember 2016

Sertifikat Halal


Sertifikat Halal adalah fatwa tertulis yang dikeluarkan oleh MUI melalui keputusan sidang Komisi Fatwa yang menyatakan kehalalan suatu produk berdasarkan proses audit yang dilakukan oleh LPPOM MUI.
Fatwa adalah ketetapan hukum Islam yang dikeluarkan oleh Komisi Fatwa tentang status hukum suatu produk tertentu halal.

Sertifikat halal itu bersifat sukarela, MUI tidak punya kewenangan mewajibkan produsen membuat sertifikat halal, karena bersifat sukarela tidak semua produsen pangan dan obat-obatan mengikuti sertifikat halal. Namun karena konsumen Indonesia sebagian besar muslim dan kesadaran umat islam akan produk halal tinggi, maka produsen besar seperti Indofood, Danoen, Unilever, Nestle mau mendaftarkan produknya untuk di sertifikat halal, mereka mengkuti itu salah satu pertimbangannya adalah meraih kepercayaan umat muslim agar produknya bisa di beli.
Jadi pertimbangan pengusaha untuk mengikuti sertifikat halal bukan semata kesadaran beragama tinggi, tapi lebih karena faktor bisnis, bisa jadi tanpa sertifikat halal produk mereka tidak laku.

 Kesadaran umat islam akan pentingnya produk halal, bermula dari isu lemak babi pada produk beberapa makanan sekitar tahun 80-an, waktu itu tersebar  selebaran gelap adanya lemak babi pada makanan kemasan, dampaknya produsen kalang kabut, omzet menurun, pemerintah khawatir isu menjadi liar, masyarakat stop makan yg dicurigai haram.

Akhirnya pemerintah dan produsen minta bantuan MUI untuk menepis isu ini, maka MUI beserta para ulama turun tangan meredam isu, mereka meninjau pabrik pembuatan makanan   dan meyakini tidak ada lemak babi, bahkan secara demonstratif para ulama memakan makanan yg dicurigai mengandung lemak babi bersama2, diliput media televisi dan koran, akhirnya isu hilang, produsen lega karena kepercayaan masyarakat pulih dan kekhawatiran pemerintah lenyap.

Kasus lemak babi menyadarkan ummat dan ulama akan pentingnya meneliti kehalalan suatu produk, maka terbentuklah LPPOM MUI (Lembaga Penelitian Pangan dan Obat-obatan Majelis Ulama Indonesia).
LPPOM bertugas meneliti produk yang akan disertifikasi, tentu saja penelitian ini tidak serampangan, dikerjakan secara teliti, hati-hati dan memakai kaidah keilmuwan yg benar, banyak ahli pangan yang bekerja di sana dan bisa mendeteksi kandungan makanan dan obat-obatan yang mengandung unsur haram.

Tentu saja untuk meneliti adanya kandungan haram pada produk pangan memerlukan biaya, sementara MUI lembaga non pemerintah yang tidak dapat subsidi dari negara, maka setiap yang ingin mensertifikasi halal di pungut biaya untuk penelitian, tranpotasi dan akomodasi  peneliti. Seberapa besar biaya itu bergantung seberapa rumit dan jarak lokasi usaha, tidak bisa di standarkan untuk semua produk.

Banyak yang gagal paham tentang sertifikat halal, ada yang menganggap itu wajib dan MUI dapat untung dari program  sertifikasi halal, dibuatlah hitung2an matematis jumlah pengusaha pangan dan obat2an mencapai 40 juta, masa sertifikasi  2 tahun, tiap pengusaha dikutipsekitar 12 juta, muncul angka  480 Trilyun, widih banyak amir, melebih target pemerintah dari tax amesty.

Para pembenci MUI menuntut MUI tranparan dan keuangannya di audit, karena mereka menganggap MUI itu di subsidi dan mengutip uang dari masyarakat, bahkan pasca MUI mengeluarkan sikap keberaga maan terhadap Ahok, para pemuja Ahok malah lebih keji menyebut MUI sarang koruptor.

Mari kita bedah tuduhan itu benarkah kutipan sertifikat halal memberi pemasukan trilyunan? Andaikata umpama sampai angka trilyunan kutipan  sertifikat halal, pastinya pemerintah kita  yang duafa  dan lagi miskin pendapatan melirik potensi itu dan mewajibkan semua pengusaha ikut sertifikat halal.

Duit haji dan duit zakat saja pemerintah mulai cawe-cawe gatal kepingin pakai, begitu juga dengan duit rakyat yg parkir di luar negeri, digiring pulang dengan iming-iming tax amesty, kok potensi yang trilyunan dari sertifikat halal diabaikan? Logika ini mematahkan para pembenci MUI, bahwa uang sertifikat halal tidak sebesar yang dibayangkan. Ditambah lagi sertifikat halal itu bersifat sukarela, tidak semua pengusaha ikut, maka potensi yang didapat dari biaya sertifikat halal itu kecil.

Masalah audit dan transparansi itu juga patut di perhatikan, MUI itu bukan lembaga pemerintah jadi tidak ada hak lembaga audit pemerintah macam BPK melakukan audit, kalaupun MUI dapat dana hibah dari pemerintah katakan untuk biaya operasional, maka yang dilaporkan dan diaudit hanyalah dana hibah dari pemerintah, bukan audit keuangan keseluruhan.

MUI ngutip uang pengusaha, berarti ngutip uang rakyat?  Ini logika nyungsang, banyak lembaga swasta melakukan kutipa seperti ; sekolah, perguruan tinggi, lembaga sertifikasi swasta seperi ISO, SII
Mereka melakukan kutipan ada imbal balik dalam bentuk jasa, seperti halnya transaksi perdagangan, semua dilakukan sukarela tanpa paksaan, nah kalau MUI dituntut untuk tranparan keuangan sehingga publik semua harus  tahu, tentunya bukan hanya MUI semua lembaga swasta, perguruan tinggi, ormas seperti Muhamadiyah  NU, walubi, PGI juga harus tranparan, kenapa cuma MUI yang dituntut trasnparan?

Disinilah bias terjadi karena kebencian berlebihan kepada MUI, semua hal yang bisa merusak kredibilitas MUI dilakukan, padahal mereka yang menyerang MUI itu belum tentu mau dibuka tranparan. Sudah menjadi rahasia umum, banyak dinatara mereka yang aktif di LSM komparador,  kerjanya cari proyek dengan menjual menjual proposal, menjual kemiskinan untuk meraih keuntungan, tidak jelas sumber keuangan dan pertanggung jawabannya, mereka ini sering teriak keterbukaan, tapi dia sendiri tidak mau terbuka.

Walhasil MUI sudah menjalankan fungsinya menjaga ummat dari mengkonsumsi produk tidak halal, itu kerja yang luar biasa, dimata pembenci islam apa pun yang dilakukan MUI untuk kebaikan ummat akan disalahkan, tugas kita harus tetap menjaga marwah dan kehormatan MUI dari kaum komparador.


Sekian



Kamis, 01 Desember 2016

Popularitas dan elektabilitas


Dimusim pilkada ini kita sangat akrab dengan dua kata ini popularitas dan elektabilitas, maksudnya apa sih? Popularitas artinya tingkat keterkenalan seseorang di mata publik sedangkan elektabilitas artinya tingkat keterpilihan seseorang atau partai di mata publik.

Elektabilitas partai tinggi berarti tingkat keterpilihan partai dimata publik tinggi.untuk bisa meraih elektibilitas tinggi, tentu harus punya tingkat popularitas yang tinggi, karena untuk dipilih seseorang harus dikenal dan populer terlebih dahulu.

Tetapi belum tentu yang populer dan terkenal bisa mendapat elektabilitas tinggi, karena yang populer belum pasti mendapat apresiasi dari masyarakat, karena bisa jadi yg populer itu tidak masuk dalam kriteria yg di inginkan di masyarakat.

Sebagai contoh tukul arwana punya popularitas tinggi, semua orang pasti mengenal tukul sebagai host dan pelawak yang kerap tampil di televisi, misalkan tukul mencalonkan diri jadi gubernur jawa barat, akankah tingkat elektabilitasnya tinggi? Maukah rakyat jawa barat memilih tukul jadi gubernur? Saya yakin orang jawa barat tidak bakal milih tukul jadi gubernur jawa barat, apa kata dunia kalau negeri parahiyangan itu dipimpin pelawak? Ditambah lagi tukul orang jawa, sementara jawa barat sebagian besar suku sunda, sulit rasanya orang sunda mau memilih orang jawa sebagai gubernur di wilayahnya

Dari semua hasil lembaga survei yg dirilis, tingkat popularitasnya ahok sangat tinggi dibanding calon gubernur dki yang lain, semua rakyat dki mengenalnya, ini sangat masuk akal, karena ahok incumbent dan sering masuk berita, sementara anies walaupun sebelumnya sudah populer sebagai mantan menteri pendidikan, baru deklarasi pilgub pas pendaftaran, agus lebih parah tidak dikenal dan tidak di perhitungkan.

Setelah kasus penistaan agama, popularitas ahok menasional bahkan mendunia, semua media secara massif memberitakan, semua rakyat indonesia tahu, terlebih umat islam pasti mengenal ahok, namun keterkenalan ahok bukan dalam citra positif.

Rakyat jakarta juga hapal dengan nama ahok, bisa jadi popularitasnya kini lebih tinggi dari tukul arwana, tapi kenalnya rakyat jakarta kini bertambah dari citra ahok yang konon kabarnya kinerjanya bagus, menjadi kenal ahok sebagai penista al-quran.

Tidak heran dari release lembaga survei Poltracking Indonesia terbaru mempublikasikan tingkat popularitas ahok hebat 94,8 persen, tapi elektabilitasnya terjun bebas hingga tersisa hanya 22 persen, kenapa kok bisa terjun bebas elektabilitas ahok? Salah satunya rakyat jakarta sebanyak 62 persen percaya ahok telah menistakan agama, jadi disini popularitas ahok berbanding terbalik dengan elektabilitasnya.

Berita tempo menyatakan ahok tidak bisa menutupin rasa kecewanya, sambil membela diri laksana siaran ulangan di televisi, bahwa ahok tidak pernah punya niat menistakan quran.

Mereka tidak mau memilih pemimpin kafir. Padahal saya ini bukan calon pemimpin, tapi pelayan Bapak-bapak dan Ibu-ibu," kata Ahok berkampanye.

Apabila besok jutaan ummat islam tumpah ruah ke jakarta melakukan aksi super damai 3 menuntut ahok ditahan, secara luas diberitakan dan di ekspos media sosial, bisa jadi popularitas ahok semakin tinggi dengan gelar penista agama dan elektabilitas ahok semakin anjlok.

Sekarang ini ahok dan pengikutnya masih sangat pd rakyat jakarta akan memilih duet ahok-jarot karena kinerjanya dianggap kinclong, dukungan media utama juga masih tinggi keberpihakan pada ahok, namun rakyat jakarta bukan sekumpulan orang bodoh yg mudah di ninabobokan pemberitaan media, mereka paham ada yg salah pada ahok sehingga masyarakat luas sangat marah padanya, walhasil jika tekanan aksi bela islam kuat, lantas ahok ditahan, maka era ahok wassalam.

semoga doa kita semua besok diijabah alloh, segala daya dan upaya sudah kita lakukan, insya allah dan pasti allah akan mengijabah doa kita.