Arsip Blog

Selasa, 15 Mei 2018

Tiga Wajah NU


NU atau Nahdiyin itu memiliki tiga wajah, Kultural, Sruktural dan politik, NU kulutural adalah secara sederhana digambarkan semacam rangkaian budaya khas keislaman indonesia yang sudah memasyarakat seperti maulid, tahlil, talqin dll, saat ini di gadang gadang dengan sebutan Islam Nusantara, sebuah paham yang menganggap Islam itu moderat akomodatif pada budaya lokal.

Dalam praktek dilapangan kegiatan budaya ini mendominasi praktek keislaman di negeri ini, disamping amaliah wajib umat islam seperti sholat, puasa dan haji

NU struktural adalah NU Jamiah, yaitu orang atau person yang akti v menjadi pengurus atau anggota NU, jumlah anggota NU jamaih tidak jelas, karena memang mereka belum punya database anggota yang mumpuni, jumlahnya juga tidak besar.

NU Politik adalah wajah NU direpresentatikan NU dalam wajah politik, jumlah NU politik itu juga kecil, tengoklah jumlah kursi PKB (partai anak kandung NU) di DPR tidak jauh lebih besar dengan partai PKS yang baru berdiri di awal reformasi.

Nah kalau selama ini selalu didengungkan NU diklaim sebagai organisasi dengan jumlah anggota terbesar bisa jadi ya, tapi harus dicatat itu wajah NU kultural bukan Struktural, apalagi wajah NU politik, karena sebagian besar ummat islam indonesia banyak mempraktekan cara keislaman NU kultural, namun tidak pernah terdaftar sebagai anggota NU Jamiah.

Wajah kultural itu tidak serta merta akan ikut maunya struktural, mereka massa mengambang bebas, yang tidak terikat pada aturan struktur organisasi, selama kultur mereka tidak di singgung, tidak akan ada diantara mereka yang patuh pada Struktural, tapi ketika kultur mereka disinggung, kultural bisa kecewa, struktural dengan banyak motif akan ikut bermain.

Peristiwa 212 adalah contoh wajah paradok NU struktural dan klutural, meskipun struktural koar-koar tidak setuju dan melarang ummatnya hadir dan tokoh yang jadi komando dianggap radikal (Habib Riziek) dan orang Muhammadiyah (Bahtiar Natsir) , faktanya lebih jutaan orang hadir disana, siapa saja mereka yang hadir? NU kultural lah yang mendominasi, mereka tidak patuh pada sabda struktural karena memang mereka tidak kenal dan tidak ada ikatan organisasi, uniknya meski dikomandoi Islam "Gariskeras" sholat Jumat memakai cara NU kultural, azan dua kali, terus dimulai dengan zikir dan tahlil ala ustadz Arifin Ilham ha..ha..ha..
Selama ratusan tahun NU kultural ini coba "diluruskan" karena oleh versi organisasi islam modernis dianggap menyuburkan penyakit TBC (Tahayul Bidah Churafat), hasilnya gagal total, NU kultural tetap eksis bahkan menjadi paham mayoritas negeri ini.

Pertarungan panjang modern dan tradisional pada akhirnya mencapai titik keseimbangan baru, paham modern fokus di bidang kesehatan, pendidikan dan kesehatan dan berkantong di wilayah-wilayah perkotaan dan perumahan baru dan NU menjaga wilayah pedesaan.

Tapi harus di catat meskipun NU mengendalikan desa tapi soal politik NU memang piawi, tokoh NU bisa di terima banyak pihak, makanya satu-satunya tokoh Islam Negeri ini yang pernah jadi Presiden adalah orang NU yaitu Gus Dur, Tokoh Muhammadiyah Sekelas Amin Rais bergelar bapak reformasi dan Hidayat Nur Wahid paling tinggi jabatannya ketua MPR he..he..he..

Ketika banser membubarkan pengajian salafy/HTI itu sesungguhnya melanggar fitrah NU Struktural beserta organisasi sayapnya, karena selama ini NU Sturkrural terkenal sebagai organisasi akomodatif dan kompromomi, tengoklah sejarah sejenak, ketika Soekarno mendengungkan bersatunya Nasionalis-Agama-Komunis bersatu dengan nama Nasakom NU ikut, ketika Komunis digayang awal Orde Baru NU terlibat, ketika rezim Orde Baru mengkampanyekan azas tunggal NU sami'na wa atohna, pun ketika sebagian besar umat sedang marah dengan Ahok, NU tetap berkepala dingin, bahkan ada kyai yg mengaku NU malah "membela" Ahok.

Kenapa mendadak bringas? Saya tidak tahu, tapi ini sekedar catatan saya pada saudara saya NU sruktural, secara pribadi saya sih NU Kultural, saya dan keluarga masih mengamalkan apa yg mereka sebut para wahabiria sebagai bukan sunnah mungkin juga bid'ah seperti perayaan maulid, haul, sedekah kematian,

Waktu orang tua saya meninggal ya tetep ngadain sedekahan 3 hari, 7 hari sampai 40 hari, nah kemaren saya hadir acara khas NU Kultural haul kakek tercinta bersama masyarakat pondok ungu.

Walau secara kultur NU, namun seumur-umur saya tidak pernah tercatat masuk NU Jamiah, dalam garis pergerakan saya malah lebih tertarik pada gerakan modern seperti Muhamadiyah.

Menurut saya apa yang disebut pengajian sunnah itu hanya pengulangan dari gerakan pemurnian agama yang pernah di lakukan Muhammadiyah dan Persis pada masa lalu, ada gesekan dilapangan karena menyangkut keyakinanya NU kultural, namun sangat jarang gesekan itu menjadi adu fisik apalagi sampai melarang dam membubarin pengajian.

Di kampung saya pernah ada seorang ustadz anak kandung NU terus berubah dan dianggap jadi Muhamnadiyah, saat Idul fitri dia beda hari, ustadz itu ngadain sholat id lebih awal, orang kampung saya yang NU kultural, tidak marah, cuek bebe, bagimu keyakinannmu, untukku keyakinanku, mereka lebih taat pada pemerintah yang netapin sholat id yang satu hari lebih lambat.

Jadi NU kultural tidak akan ada yang bringas selama tidak dikipasi tidak akan pernah menjadi bentrok kalau tidak ada yang ngomporin, jadi saya kira santai saja teman teman NU Struktural beserta organisasi sayapnya kalau ada orang yang suka membidahkan dan mengkafirkan ajaran NU kultural, toh mereka juga minoritas dan pasti gagal menghilangkan amalan dan budaya NU kultural.

Ummat NU Kultural sudah dewasa, jadi sebaiknya pembubaran pengajian yg mengatasnamakan sunnah itu jangan terulang, biarkan saja mereka mengamalkan apa yang mereka sebut dakwah sunnah, toh mereka belum tentu sukses merubah wajah Islam Indonesia.

Lalu bagaimana dengan khilafah? Ah itu cuma ilusi saja, ideologi khilafah tidak akan laku di negeri ini, mereka cuma minoritas kecil yang masih terobsesi pada masa lalu, di alam demokrasi keberadaan mereka di bolehkan, sebagaimana penggemar rok mini juga dibolehkan, selama pengusung khalifah belum di anggap ideologi dan organisasi terlarang oleh keputusan pengadilan negeri ini, seperti halnya PKI mereka berhak menyampaikan ide dan gagasannya, jangan jadi jaksa dan hakim melarang mereka hidup.

Ini hanya sekedar sumbang opini pribadi, boleh di di diskusikan dengan kepala dingin, bukan dengan emosi.