Arsip Blog

Senin, 29 Januari 2018

Becak dan angkot


Sudah lama sekali saya tidak naik becak dan angkot, sejak kehadiran angkutan online, becak dan angkot saya rasakan tidak praktis dan ekonomis lagi. Ongkos online yang murah, mudah dan cepat ditambah lagi dengan keramahan pelayanan dan kecepatan membuat saya betah ber online ria.

Becak di di tempat saya nyaris sudah menghilang, hanya ada di lingkungan pasar tradisionsal saja, pelanggan pun hanya emak-emak zaman old, yang setia belanja di pasar tradisional, demikian juga dengan angkot berangsur tapi pasti punah dengan sendirinya di tinggal peminat yang makin menua, di tempat saya Perumnas 3 Bekasi angkot jenis kijang sudah hilang dari peredaran, yang bertahan angkot jenis elf yang trayeknya cukup panjang Perumnas 3 - Pulogadung.

Tanpa perlu ada regulasi pelarangan, dengan mekanisme pasar saja becak akan musnah dengan sendirinya, anak muda zaman now mana tertarik naik becak, lelet, lebih mahal ongkosnya ketimbang online, dan tidak praktis kudu teriak dan mencari di pangkalan.

Kalau ada regulasi becak boleh hadir kembali di kota besar seperti Jakarta mungkinkah becak akan bisa menarik pelanggan? Jawabnya pasti tidak, siapa sih di Jakarta yang warganya butuh cepat dan ketepatan masih mau naik becak? Jangankan becak angkot dan taksi saja yang nyaman dan ber AC orang sudah emoh, angkutan online lah yang kini jadi primadona.

Ribut soal becak Di Jakarta hanya imbas pilkada saja, bodoh kalau Gubernur sekarang membolehkan becak hadir kembali di Jakarta, teramat tidak masuk akal becak kembali berjaya dan diminati generasi sekarang sebagai angkutan utama, dari apa yang saya baca, gubernur hanya membolehkan becak untuk angkutan lingkungan saja, itupun hanya wilayah yang memang becak itu masih ada.

Ada yang bilang becak itu bikin macet gue sih ngakak, sekarang yang bikin macet itu ojek online, coba deh lihat di stasiun kereta dan jalan-jalan protokol ojek online bebas mangkal se enaknya, terus ada yang ngomong becak tidak manusiawi mengekploitasi manusia, sok humanis ! luh pada diem saja ketika nelayan terusir dari pantai yg di reklamasi, ketika rakyat di usir dari tempat tinggalnya atas nama pembangunan, lalu disuruh nyewa tempat di rusunawa jau dari tempat tinggal mereka mencari nafkah, luh juga pada diam kagak peduli, luh ribut tanah abang melanggar UU, tapi luh mingkem ketika ratusan bangunan berdiri di tanah reklamasi tanpa IMB.

Becak itu hanya komoditas politik, ketika musim kampanye becak dijadikan alat pencitraan, seolah-olah merakyat dan peduli sama rakyat, tapi ketika sudah terpilih, di benak banyak penguasa, becak itu adalah kumuh dan sampah yang bisa merusak wajah kota, cara paling mudah menghilangkan becak memusnahkan dan melarang kehadiran mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar