Arsip Blog

Selasa, 31 Januari 2017

Sejarah Yang Selalu Berulang


Salah satu cara paling primitif membungkam lawan politik adalah mengkriminalisasi atau memenjarakannya, diseluruh dunia tehnik ini dipakai sebuah rezim yang tidak siap dialog, minim prestasi dan punya watak otoriter. Ada banyak tuduhan yang bisa dilontarkan untuk mengkriminalisasi lawan politik mulai dari subversif, makar sampai menghina lambang negara.

Efektifkah memenjarakan lawan politik? dalam jangka pendek mungkin, penguasa dengan bantuan aparatnya yang sudah terkooptasi sementara waktu bisa tidur nyenyak, tidak ada lagi oposan yang setiap waktu membuat kuping penguasa memerah karena kritiknya, bisa berjalan lenggang menggenggam kekuasaan sesuai dengan seleranya.

Namun dalam jangka panjang, penguasa otoriter yang memenjarakan lawannya sedang membuka celah menaikan popularitas lawan politik, penjara bagi kaum oposan ternyata adalah lahan subur buat membangun kekuatan dahsyat yang pada akhirnya justru merobohkan rezim penguasa yang lalim.

Nelson Mandela adalah contoh nyata betapa penjara menjadikan dirinya membesar, 20 tahun dalam sel tidak membuat mandela tenggelam dan dilupakan, penjara justru menciptakan mitos-mitos tentang kehebatan mandela, bagi kaum tertindas rezim afarheid di Afrika Selatan Mandela adalah pahlawan yang mengajarkan tentang ketabahan, keberanian dan kekuatan rakyat tertindas melawan rezim lalim.

Hebatnya seorang Mandela, ketika meraih kemenangan, berhasil memenangkan pertarungan dan terpilih sebagai presiden, tiada dendam dihati, lawan dirangkul bukan dipukul, tidak boleh ada dendam, Afrika Selatan harus membuka lembaran baru, sebuah Komite Kebenaran Dan Rekonsiliasi di bentuk, rakyat dan rezim lama harus saling memaafkan, jadilah Afrika Selatan sebuah negara yang mampu melewati sejarah dengan penuh kedamaian.

Di negeri ini memenjarakan lawan politik bukan sesuatu yang baru, Soekarno adalah pelopornya banyak tokoh di era Rezim Orde lama di penjara tanpa diadili, Syahrir, Muhammad Roem, Buya Hamka dll adalah contoh korbannya.

Soeharto juga mengikuti jejak Soekarno, Rezim Orde Baru lebih kejam memenjarakan, menculik dan nenghilangkan lawan politik, kalaupun tidak di penjara, keperdataan lawan politik dan keturunannya di beri cap khusus, sehingga kehidupan lawan politik dan keturunannya menjadi susah.

Apa hasil dari membungkam lawan politik? Rezim runtuh dengan tragis, Soekarno tumbang, diasingkan dan meninggal dalam kesendiriaan, Soeharto juga bernasib sama, bukan hanya di indonesia, diseluruh dunia rezim otoriter pastinya akan tumbang, sementara tokoh yang teraniaya namanya kian melambung, contohnya Buya Hamka, penjara menjadikan dirinya mampu menuntaskan maha karya Tafsir Al Azhar, ummat semakin hormat padanya, ketika MUI dibentuk sebagai wadah bersatunya ummat, Buya Hamka dipilih sebagai Ketuanya.

Jadi ketika hari ini dan hari-hari selanjutnya kita melihat ada upaya mengkriminalisasi para tokoh 212, dimulai dari Habieb Riziek, Munarman dll, hakekatnya adalah sebuah hadiah terbesar buat tokoh itu untuk memperluas pengaruh mereka di sanubari rakyat Indonesia, bahwa ketidak adilan yang mereka terima akan tertancap dalam sanubari rakyat, mereka paham ada yang salah pada negeri ini, pada rezim ini.

Terlebih lagi ketidakadilan itu di bungkam dalam kondisi rakyat melek it, melek medsos, dimana informasi bisa menembus dinding-dinding kamar setiap orang, maka ketidakadilan itu di terima dengan amat sangat telanjang, rezim ini sulit menutup aib bahwa mereka telah melakukan kriminalisasi terhadap tokoh yang kini sedang melambung namanya

Saya menyebut mereka yang tahu informasi ini, sebagai masa diam, masa yang tidak nampak, namun bisa muncul secara cepat jika momentnya tepat, itu terlihat dari peristiwa 212, ummat dengan cepat berkumpul dalam satu titik, tanpa komando, tanpa sokongan dana, kini 212 telah menjadi spirit baru kebangkitan ummat, nah ketika anda mencoba melawan arus kebangkitan itu ada dua kemungkinan yang terjadi, arus itu berbelok mencari jalan baru atau anda terseret dan tergilas arus

Tidak ada komentar:

Posting Komentar