Arsip Blog

Kamis, 29 November 2018

Jurnalisme Warga.

Prabowo Unggul di media Sosial, Jokowi unggul di media konvensional.

https://pilpres.tempo.co/read/1150174/survei-median-prabowo-unggul-di-kalangan-pengguna-media-sosial.

Apa artinya? Media konvensional adalah media massa yang banyak dimiliki pemilik modal, koran/tabloid, majalah, televisi sampai radio.

Media konvensional sudah nyaris mendekati ajal, koran/tabloid dan majalah adalah korban pertama, sudah banyak media koran yang gugur, yang paling anyar Tabloid Bola milik Kompas Grup tahun ini sudah in memorium.

Bagaimana dengan majalah? podo wae dulu Femina Grup adalah dulu kiblat fasion nable para selebriti dan sosialita, terakhir saya ketemu dengan seorang karyawan Femina Grup kondisinya sekarang menurun dratis.

Radio? masih ada pendengarnya terutama buat warga Jakarta menghilangkan jenuh dan kemacetan, Televisi masih lumayan, banyak yang menonton buat sekedar hiburan, bukan untuk menonton berita.

Media yang naik daun adalah media online, kenapa? murah cukup langganan internet paket data 25 ribu bisa membaca ratusan media, tinggal buka linknya bisa baca berita sepuasnya gratis.

Media utama kini banyak yang mengalihkan bisnis medianya dari konvensional ke online, pemain besar media online saat ini tetap sama, dikuasa para pelaku bisnis media konvensional yg berubah wujud jadi online.

Sayangnya media utama baik online maupun konvensional terkena wabah mendukung penguasa, mereka berpihak, suka memframing berita, bahkan menurut Harsubuweno Arif sudah sampai tahap melakukan "kejahatan besar"

Saya kutip pendapat Harsubeno Arief

"Media-media arus utama sebagian besar larut dalam sebuah 'kejahatan besar' yang disebut sebagai framing (membingkai berita), atau di Indonesia dikenal dengan istilah 'pemelintiran' dan 'menggoreng isu'. Dua istilah terakhir ini bahkan jauh lebih jahat dari framing"

https://m.kumparan.com/hersubeno-arief/aksi-bunuh-diri-massal-pers-indonesia-1543248679039007452?utm_medium=post&utm_source=Facebook&utm_campaign=int

Masyarat mulai tidak percaya pada media arus utama, muncullah sebuah fenomena baru, Jurnalisme warga, dengan kekuatan jempol, warga bisa saling bertukar info dan memberitakan peristiwa setiap saat tanpa ada sensor dari redaktur media formal, tentu saja dari prespektif berbeda ketimbang media utama.

Ketika Prabowo unggul di media sosial, itu bentuk jurnalisme warga yang tidak ingin dikotopsi media utama, jurnalisme warga bangkit mengimformasikan hal kekinian yang mereka lihat dan rekam, mereka mampu mampu mengimbangi isu dan menconter berita yang dimainkan media utama.

Jurnalisme warga kini juga menyebar di grup-grup-grup WA dan Tele personal melalui HP, info ter-update dengan mudah dan cepat menyebar tanpa bisa di kontrol pemerintah.

Maka tak heran ketika semua media memberitakan negatif Aksi 212 saat Ahok jadi Gubernur DKI, pemerintah dengan segala cara berusaha membendung dengan ancaman dan melalui tokoh Agama Utama, faktanya jutaan orang membanjiri Monas.

Renald Kasali pernah menulis bahwa fenomena tumbangnya penjual konvensional seperti toko-toko di mall dan hipermarket/pasar modern adalah terjadinya proses pemindahan penjulan dari konvensional ke online, dampaknya konvensional tumbang online berjaya.

Di media sosial teori Renald untuk media online sudah sampai pada revolusi perpindahan kedua, tahap awal masyarakat berpindah dari media konvensional ke media online, namun ketika online terkotopsi penguasa, masyarakat membuat media sendiri dengan tenaga jurnalisme bisa siapa saja.

Jurnalisme warga rentan hoax? ah kamu pikir media utama bukan bagian dari penebar hoax? baca dah tulisan Harsubeno Arif, ketika media utama punya keberpihakan pasti beritanya menjadi berat sebelah.

Terus apa kita mesti percaya pada jurnalisme warga? ya tidak harus, di pilah secara cerdas informasinya, sebagaimana anda juga harus cerdas memilah berita di media utama, belum pasti berita jurnaslisme warga benar, tapi tidak juga media utama memberitakan sesuatu secara benar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar