Zaman dahulu jika ingin belajar agama, kita rutin mengikuti talim mingguan atau bulanan, mendatangi guru di masjid/musolla atau majlis ilmu, menyimak dengan ta'zim setiap uraian kyai, ada interaksi dan ekpresi langsung antara murid - guru dan pastinya ada kitab yang dijadikan rujukan, setiap masalah bisa kita tanyakan langsung dengan penjelasan rinci dan jelas.
Jika ingin menjadi pendakwah profesional sekaligus paham ilmu agama lebih mendalam, ada sekolah formal khusus agama, mulai dari tingkat dasar Madrasah Ibtidaiyah, tsanawiyah, aliyah sampai perguruan tinggi agama, ada sekolah sistem pesantren dengan metode pembelajaran 24 jam dalam asrama, sehingga interaksi murid-guru-kyai terjaga setiap saat.
Pada sekolah formal ada kurikulum, metode, buku dan kitab rujukan sehingga pemahaman keagamaan bisa di terima utuh, berkesinambungan dan dapat menghasilkan lulusan yang bisa diandalkan menguasa ilmu agama mulai dari aqidah, syariah, fiqh, bahasa arab sampai sejarah.
Butuh waktu puluhan tahun untuk bisa paham agama lebih mendalam, jika dihitung belajar agama di sekolah formal mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi diperlukan waktu sekitar 17 tahun, apalagi kalau mengejar pendidikan formal sampai S3 butuh lebih dari 20 tahun.
Era sekarang menuntut ilmu dan berdakwah banyak memanfaatkan media sosial, jika yang berdakwah ulama mumpuni sih ok, faktanya seseorang yang memahami secuil agama bisa berdakwah, tinggal menulis status, lalu dibaca publik, jika dianggap bagus langsung di share oleh ahli share, dengan menshare sudah dianggap menebarkan kebaikan, tak peduli share itu dibaca atau tidak, sing penting bagi status dan itu sudah dianggap berdakwah.
Paling menjengkelkan share tidak tepat waktu, lagi bahas sesuatu di grup WA mendadak muncul share tulisan yg tidak jelas sumbernya, cukup ditulis dari copas tetangga, ketika di coment itu status marah, sampai bilang anda tidak suka nasehat dan ajaran agama ya? Wkkk.
Nah karena sebagian nitizen males membaca, mereka tidak suka status kalimat panjang, padahal kalimat panjang diperlukan untuk lebih dalam memahami sebuah pesan, mereka senangnya kalimat pendek, meme bentuk gambar dengan secuil teks atau potongan video ustadz memberi fatwa paling lama dua menit, tidak lupa untuk memperkuat argumen ada dalil quran dan hadist.
Tidak peduli siapa pendakwah di medsos, latar belakang keilmuwannya, wawasan keislamannya, asal bisa nulis status agama menarik dan bisa nempatin dalil quran dan hadist yang pas, banyak yang suka, apalagi dilabelil dengan kata sunnah atau sesuai sunnah wah tulisan anda jaminan mutu dah, pasti di share atau copas banyak orang.
Di era sosmed banyak yang mendadak kyai, baru menguasai satu dua dalil sudah berani berfatwa di sosmed halal haram, sunnah-bidah, banyak juga yang mendadak religi, didunia maya menjadi sosok sangat soleh dan soleha sering-sering bikin status nasehat agama dan berbagi status keagamaan.
Jika pernyataan disanggah, maka copy paste dari pihak lain dijadikan argument, ketika sudah terpojok karena logikanya tidak nyambung, maka senjata terakhir muncul, jangan berdebat, tinggalkan berdebat itu tidak membawa manfaat.
Saya menyebutnya dakwah dalam sepotong status. Murid tidak perlu mendatangi guru, untuk belajar agama, baca status fb sambil leha-leha atau haha hihi nemu status agama yg menarik copas dan share.
Begitu juga para pendakwah sosmed, tidaklah penting siapa anda, toh para sosmed mania tidak peduli dengan latar belakang anda, cukup pakai nama kearab-araban seperti ummi fakir, ummi fattan, abu ammar, abu-abu lain, bikin status yang katanya sunnah pasti banyak penggemar.
Mungkin tanpa disadari ini merupakan gejala pendangkalan agama, banyak orang berguru pada pendakwah yang tidak jelas di dunia maya, miskin ilmu dan wawasan, sehingga nasehat agama yang dikeluarkan menjadi dangkal, terkadang bikin heboh cuma sekedar mengejar viral dan like.
Seorang ummi membuat status kegiatan bagi angpau di hari lebaran di bilangan membangun mental pengemis, tanpa melihat aspek sosilogis, sejarah, tradisi keagamaan pokoke itu dianggap tidak sesuai dengan ajaran rosul.
Aya-aya wae nih ummi, tradisi puluhan tahun kok di bilang pengemis, herannya tulisan itu viral dan disetujui banyak orang, manut bae dengan si ummi yang tidak jelas sosoknya, aneh bin ajaib pendakwah tidak jelas bisa menciptakan opini dahsyat.
Saya kira perlu dipikirkan organisasi formal keislaman seperti MUI, NU, Muhammadiyah, Persis, DDII dll untuk lebih memperhatikan dakwah di sosmed, agar sosmed tidak dikuasai oleh pendakwah yang tidak jelas latar belakangnya miskin wawasan dan keilmuwan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar