Kalau kalian pada peduli pada kaum marjinal, pedulilah secara kaffah, empati dan simpati lah pada mereka saat mereka digusur dari kampung halamannya, dipaksa pindah kerumah susun dengan menyewa, dari memiliki rumah dimiskinkan dengan menyewa rumah, dengan dalih yang sangat klise menempati tanah negara.
Negara ini punya siapa? Ya punya rakyat, kenapa negara ini pelit bangat pada rakyatnya, kalau rakyatnya butuh ya tinggal berikan itu tanah, jangan negara malah memusuhi rakyatnya, menggusur dan memiskinkan, kemudian dibuat seolah2 manusiawi mereka di pindahkan ke rumah susun gratis sewa sekian bulan selanjutnya bayar sewa seumur hidup.
Dan ketika mereka dimarginalkan dengan dipindahkan ketempat yang katanya manusiawi, kalian puja itu pemimpin yang menggusur rakyatnya, kalian anggap pemimpin itu sudah bekerja untuk rakyatnya.
Ketika seorang ibu pedagang nun dipelosok sanah di razia saat buka warung makan di bulan ramadan, sejuta empati dan simpati mengalir, aparat itu bloon, aparat itu salah, kenapa emang buka rumah makan di siang hari? Beriman kok manja? Salahkah?
Aparat itu tidak salah karena menjalankan tugas yg di bebankan padanya, yang salah adalah caranya yg kurang simpatik, apa tidak sebaiknya menegur baik2? Memberi tahu ada aturan lokal tidak membolehkan berdagang di siang hari dengan bahasa santun.
Ah aparat satpol pp memang begitu, mereka hanya tahu satu bahasa, yaitu bahasa kekerasan, karena mereka di didik untuk menertibkan pedagang yang sering membandel.
Pedagang juga tidak selamanya benar, ya mereka mencari rejeki di tempat atau kerumunan yang ramai, kerapkali kerumunan ramai itu jalur hijau atau tempat yang dilarang berjualan dan waktu yg kurang tepat.
Ibu pedagang nasi itu benar? Belum tentu, bisa jadi di daerah itu memang ada aturan yg melarang jualan makanan disiang hari saat puasa, jika aturan itu mekanismenya benar dan tidak menabrak undang2 ya syah, bisa dijalankan.
Aturan itu intoleran? Di bali setiap hari raya nyepi seluruh aktivitas masyarakat dihentikan, ada pecalang semacam petugas keamanan dari unsur masyarakat yg mengawal hari raya nyepi, cobalah buka warung makan di saat nyepi di bali, akankah masyarakat bali menerima? Bisakah kita bilang cara beriman orang bali manja? Itu kearifan lokal bung pahami dan hormati.
Masalahnya itu hanya sebuah berita bergambar, di narasi sedemikian rupa, dengan gambar empati wajah seorang ibu yang memelas dan diulang melalui media sosial, sayangnya gambar itu sekarang ini jarang muncul pada saat penggusuran rakyat jakarta, tidak terekam bagaimana tangis ibu, anak, bapak yang rumahnya tergusur, gambar memelas itu hilang karena pers sedang terrpukau pada sosok tertentu, sehingga apapun yg dikatakan dan dilakukan sosok itu selalu benar.
Jadi empati dan simpatilah pada kaum marjinal secara kaffah, kita harus adil dalam menilai sebuah berita, jangan emosi terbawa maunya redaktur media, disini dia puja penggusur kaum marjinal, di sana dia matikan penggusur kaum marjinal, pers yang memihak memang repot.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar