Sertifikat Halal adalah fatwa tertulis yang dikeluarkan oleh MUI melalui keputusan sidang Komisi Fatwa yang menyatakan kehalalan suatu produk berdasarkan proses audit yang dilakukan oleh LPPOM MUI.
Fatwa adalah ketetapan hukum Islam yang dikeluarkan oleh Komisi Fatwa tentang status hukum suatu produk tertentu halal.
Sertifikat halal itu bersifat sukarela, MUI tidak punya kewenangan mewajibkan produsen membuat sertifikat halal, karena bersifat sukarela tidak semua produsen pangan dan obat-obatan mengikuti sertifikat halal. Namun karena konsumen Indonesia sebagian besar muslim dan kesadaran umat islam akan produk halal tinggi, maka produsen besar seperti Indofood, Danoen, Unilever, Nestle mau mendaftarkan produknya untuk di sertifikat halal, mereka mengkuti itu salah satu pertimbangannya adalah meraih kepercayaan umat muslim agar produknya bisa di beli.
Jadi pertimbangan pengusaha untuk mengikuti sertifikat halal bukan semata kesadaran beragama tinggi, tapi lebih karena faktor bisnis, bisa jadi tanpa sertifikat halal produk mereka tidak laku.
Kesadaran umat islam akan pentingnya produk halal, bermula dari isu lemak babi pada produk beberapa makanan sekitar tahun 80-an, waktu itu tersebar selebaran gelap adanya lemak babi pada makanan kemasan, dampaknya produsen kalang kabut, omzet menurun, pemerintah khawatir isu menjadi liar, masyarakat stop makan yg dicurigai haram.
Akhirnya pemerintah dan produsen minta bantuan MUI untuk menepis isu ini, maka MUI beserta para ulama turun tangan meredam isu, mereka meninjau pabrik pembuatan makanan dan meyakini tidak ada lemak babi, bahkan secara demonstratif para ulama memakan makanan yg dicurigai mengandung lemak babi bersama2, diliput media televisi dan koran, akhirnya isu hilang, produsen lega karena kepercayaan masyarakat pulih dan kekhawatiran pemerintah lenyap.
Kasus lemak babi menyadarkan ummat dan ulama akan pentingnya meneliti kehalalan suatu produk, maka terbentuklah LPPOM MUI (Lembaga Penelitian Pangan dan Obat-obatan Majelis Ulama Indonesia).
LPPOM bertugas meneliti produk yang akan disertifikasi, tentu saja penelitian ini tidak serampangan, dikerjakan secara teliti, hati-hati dan memakai kaidah keilmuwan yg benar, banyak ahli pangan yang bekerja di sana dan bisa mendeteksi kandungan makanan dan obat-obatan yang mengandung unsur haram.
Tentu saja untuk meneliti adanya kandungan haram pada produk pangan memerlukan biaya, sementara MUI lembaga non pemerintah yang tidak dapat subsidi dari negara, maka setiap yang ingin mensertifikasi halal di pungut biaya untuk penelitian, tranpotasi dan akomodasi peneliti. Seberapa besar biaya itu bergantung seberapa rumit dan jarak lokasi usaha, tidak bisa di standarkan untuk semua produk.
Banyak yang gagal paham tentang sertifikat halal, ada yang menganggap itu wajib dan MUI dapat untung dari program sertifikasi halal, dibuatlah hitung2an matematis jumlah pengusaha pangan dan obat2an mencapai 40 juta, masa sertifikasi 2 tahun, tiap pengusaha dikutipsekitar 12 juta, muncul angka 480 Trilyun, widih banyak amir, melebih target pemerintah dari tax amesty.
Para pembenci MUI menuntut MUI tranparan dan keuangannya di audit, karena mereka menganggap MUI itu di subsidi dan mengutip uang dari masyarakat, bahkan pasca MUI mengeluarkan sikap keberaga maan terhadap Ahok, para pemuja Ahok malah lebih keji menyebut MUI sarang koruptor.
Mari kita bedah tuduhan itu benarkah kutipan sertifikat halal memberi pemasukan trilyunan? Andaikata umpama sampai angka trilyunan kutipan sertifikat halal, pastinya pemerintah kita yang duafa dan lagi miskin pendapatan melirik potensi itu dan mewajibkan semua pengusaha ikut sertifikat halal.
Duit haji dan duit zakat saja pemerintah mulai cawe-cawe gatal kepingin pakai, begitu juga dengan duit rakyat yg parkir di luar negeri, digiring pulang dengan iming-iming tax amesty, kok potensi yang trilyunan dari sertifikat halal diabaikan? Logika ini mematahkan para pembenci MUI, bahwa uang sertifikat halal tidak sebesar yang dibayangkan. Ditambah lagi sertifikat halal itu bersifat sukarela, tidak semua pengusaha ikut, maka potensi yang didapat dari biaya sertifikat halal itu kecil.
Masalah audit dan transparansi itu juga patut di perhatikan, MUI itu bukan lembaga pemerintah jadi tidak ada hak lembaga audit pemerintah macam BPK melakukan audit, kalaupun MUI dapat dana hibah dari pemerintah katakan untuk biaya operasional, maka yang dilaporkan dan diaudit hanyalah dana hibah dari pemerintah, bukan audit keuangan keseluruhan.
MUI ngutip uang pengusaha, berarti ngutip uang rakyat? Ini logika nyungsang, banyak lembaga swasta melakukan kutipa seperti ; sekolah, perguruan tinggi, lembaga sertifikasi swasta seperi ISO, SII
Mereka melakukan kutipan ada imbal balik dalam bentuk jasa, seperti halnya transaksi perdagangan, semua dilakukan sukarela tanpa paksaan, nah kalau MUI dituntut untuk tranparan keuangan sehingga publik semua harus tahu, tentunya bukan hanya MUI semua lembaga swasta, perguruan tinggi, ormas seperti Muhamadiyah NU, walubi, PGI juga harus tranparan, kenapa cuma MUI yang dituntut trasnparan?
Disinilah bias terjadi karena kebencian berlebihan kepada MUI, semua hal yang bisa merusak kredibilitas MUI dilakukan, padahal mereka yang menyerang MUI itu belum tentu mau dibuka tranparan. Sudah menjadi rahasia umum, banyak dinatara mereka yang aktif di LSM komparador, kerjanya cari proyek dengan menjual menjual proposal, menjual kemiskinan untuk meraih keuntungan, tidak jelas sumber keuangan dan pertanggung jawabannya, mereka ini sering teriak keterbukaan, tapi dia sendiri tidak mau terbuka.
Walhasil MUI sudah menjalankan fungsinya menjaga ummat dari mengkonsumsi produk tidak halal, itu kerja yang luar biasa, dimata pembenci islam apa pun yang dilakukan MUI untuk kebaikan ummat akan disalahkan, tugas kita harus tetap menjaga marwah dan kehormatan MUI dari kaum komparador.
Sekian